Selasa, 11 November 2014

TUKANG ABU GOSOK BERUSIA 103 TAHUN BERJUALAN KELILING

Meskipun Allah SWT telah menjamin rezeki, namun kita diperintahkan untuk bekerja dan berusaha. Seperti yang dilakukan Nur Hali, seorang Kakek berusia 103 tahun, masih mau menunjukkan kerja keras dengan berjualan keliling. Dengan gerobak kayu yang reot, setiap hari dia harus menarik gerobaknya dengan susah payah. Dia tak mau bergantung kepada orang lain meski nafasnya tersengal-sengal.

Suatu siang yang panas, saya berhasil menemukan Engkong Nur Hali, si penjual abu gosok yang sudah berbulan-bulan saya cari. Istriku lebih beruntung, sebab bulan lalu bertemu dengannya di pinggir jalan dan mentraktir makan siang. Saya tak mau kalah, sebab saya lebih mengenalnya dari 10 tahun lalu. Bagi saya, ini bukan nostalgia biasa.

“Engkong nggak mau nyusahin anak-cucu. Dia juga punya kebutuhan. Selagi Engkong masih kuat menarik gerobak, Engkong harus bekerja sendiri,” katanya perlahan kepada Admin Tasawuf Underground (TU).

Tubuhnya yang bungkuk melepas lelah dengan duduk di tepi jalan, berlindung dari terik matahari. Keringatnya yang bercucuran di usap-usap perlahan dengan handuk kecil yang kumal, dengan tangan yang agak gemetar. Namun, matanya masih cukup awas untuk menghindari laju kendaraan, meskipun pandangannya kadang kabur. Pendengarannya masih normal, meskipun nada bicaranya agak pelan. Dia masih bisa mendorong gerobak, meskipun berjalan pelan dan tertatih-tatih.

“Engkong tinggal sama saya saja ya, nggak usah kerja,” pintaku.
“Engkong nggak mau bikin susah. Kalau Engkong nganggur malah bisa sakit. Badan pegel-pegel,” katanya polos.
Kakek kelahiran tahun 1911 ini memiliki ingatan yang tajam. Dia seumur dengan Revolusi Xinhai, Pemberontakan Wuchang 1911 pada waktu dinasti Qing berkuasa di negeri Cina. Dia lahir sebelum republik Indonesia ini berdiri, sebelum ada kerajaan Malaysia, apalagi Singapura. Dia lahir di tahun yang sama dengan Abendanon menerbitkan surat-surat R.A. Kartini dengan judul "Door Duisternis Tot Licht ". Dia lahir setahun sebelum KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Jauh sebelum Sumpah Pemuda (1928) dicanangkan, Kekek Nur Hali sudah berjualan abu gosok di Jakarta dan sekitarnya.

Kakek ini sebenarnya memiliki 7 anak dan 12 cucu. Meskipun beberapa kali anaknya melarangnya berjualan, tapi dia tetap melakukannya. Dia tak mau menyusahkan orang lain. “Engkong nggak bisa ngasih warisan buat anak-cucu, jadi nggak mau bikin repot orang.”
“Apa Engkong nggak capek?” tanya Admin TU.
“Ya capek juga. Tapi, ini kudu dijalanin. Engkong ikhlas,” jawabnya.
“Memangnya, kalau Engkong nggak jualan abu gosok, capek-capek narik gerobak, nggak ada yang kasih makan?” tanya Admin TU lagi.
“Ya pasti saja ada yang kasihan. Tapi, nggak enak rasanya makan dari belas-kasihan orang. Kita kudu kerja sendiri. Ora baik makan dari minta-minta.”

Jika Anda kebetulan tinggal di daerah Ciputat, Pamulang, Cilandak, Depok dan Sawangan, mungkin masih bisa melihat kakek tua ini. Sebab di wilayah inilah biasanya beliau mengukur jalan, di antara beton-beton pembangunan, di atas bara panas aspal jalanan. Di antara wajah-wajah angkuh di balik roda zaman. Biasanya Engkong Nur Hali keluar rumah dari setelah subuh. Dia tinggal di gubuk reot, dekat empang di kampung Cireundeu, belakang paska sarjana UIN Jakarta.

Menurut Engkong, kini penghasilan dari berjualan abu gosok tak seperti dulu. Kini sudah jarang orang mencuci piring menggunakan abu gosok. “Tapi, Engkong nggak punya keahlian lain. Ya, namanya rezeki, sudah ada yang atur. Tetap saja ada yang beli. Engkong masih hidup sampai sekarang,” tuturnya sambil mengipas-ngipas kepalanya dengan koran bekas.
Sayangnya jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, saya harus bergegas menjemput anakku dari sekolah. Saya ucapkan salam untuknya dan mencium tangannya yang keriput.
“Terima kasih Tong! Main ke rumah saja nanti ya,” katanya sambil mengusap kepalaku.
“Siap, Kong!!!”

Saya jadi ingat nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w.h. Kalimat yang mudah dipahami tapi sukar sekali dijalani. Sayyidina Ali: “Engkau mencari rezeki Allah dari sisi selain-Nya. Engkau merasa hal itu akan membuatmu aman dari waktu dan kemalangan. Engkau bisa percaya pada jaminan orang lain meskipun ia kafir, tapi engkau tak percaya pada jaminan rezeki yang diberikan oleh Allah. Engkau nampaknya tak membaca apa yang tertulis dalam Kitabullah (Al-Quran) mengenai rezeki, sehingga imanmu lemah dan goyah dalam memercayai janji Allah SWT.”

Oleh Halim Ambiya
BY tswfndrgrnd

0 komentar:

Posting Komentar