“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya … Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia” ~Soekarno~…Pemuda memiliki potensi yang luar biasa besar dalam proses perubahan. Sosok pemuda yang biasanya muncul adalah gaya idealis, berani, mempunyai daya dobrak, kreatif, kritis dan lain-lain. Tidak keliru jika pemuda dianggap tulang punggung peradaban dan masa depan suatu bangsa.
Gaya hidup yang cenderung hedonis,
hura-hura, buang waktu dengan fasilitas game on-line, terlalu memuja
idola dan budaya instan menjadikan tantangan membangun karakter pemuda
kita. Himpitan kurikulum, ekonomi, pengaruh budaya luar negeri yang
belum tentu cocok sudah benar merasuk dalam model pendidikan pemuda
kita. Seolah peran strategis pemuda secara perlahan akan mandul, tumpul
dan tidak terarah.
Pertanian merupakan salah satu warisan anak cucu yang tidak bisa
tergantikan oleh sektor lain. Indonesia memiliki potensi yang luar biasa
dalam bidang pertanian.
Indonesia Negeri Agraris, seharusnya menjadi penyuplai Dunia
Masyarakat desa di Indonesia identik dengan sektor pertanian dan sektor
ini hampir dihuni oleh 70-80% dari total populasi warga negara
Indonesia. Oleh karenanya, tidak salah apabila Bangsa Indonesia dikenal
sebagai masyarakat agraris. Itu berarti terdapat paling tidak sekitar
180 juta jiwa penduduk Indonesia yang dihidupi atau menggantungkan hidup
dari sektor pertanian. Mereka adalah petani yang bisa jadi adalah
petani subsisten (peasant) yakni petani yang masih memikirkan kebutuhan hidupnya sehari-hari dan belum berorientasi market. Atau pula petani bisnis (farmer) yaitu
petani yang telah berhasil mengatasi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan
telah berorientasi pasar. Pada umumnya, masyarakat petani di
Indonesia adalah petani padi yang diperuntukkan dalam rangka mencukupi
kebutuhan sehari-hari ataupun dijual untuk menutupi kebutuhan sektor
rumah tangga, baik untuk keperluan adat istiadat, sekolah anak ataupun
pembayaran zakat, listrik dan lain sebagainya. Mereka ini adalah bagian
masyarakat yang kerap terabaikan dalam terma-terma kebijakan
pembangunan. Dimana, keadaan mereka seringkali terjepit akibat
ketiadaan kebijakan yang mampu menyentuh kehidupan mereka.
Golongan mereka ini adalah anggota masyarakat yang dari segi sosial ekonomi rumah tangga memiliki pendapatan yang serba pas-pasan. Golongan mereka ini, bisa jadi adalah kaum pendatang yang menyewa lahan untuk pertanian, atau bisa juga mereka yang memiliki lahan relatif sempit ataupun buruh tani yang dipekerjakan di sawah-sawah atau ladang-ladang kaum elit desa. Golongan masyarakat petani yang sedikit lebih maju adalah petani (farmer) yang telah berhasil mengatasi kebutuhan subsistensnya, sehingga mereka ini telah mengalihkan pola pertaniannya ke arah pasar. Yakni, pertanian yang melihat prospek pasar atau paling tidak, mereka ini telah dapat mengidentifikasi kemauan pasar, pola pertanian yang lebih maju seperti pemupukan yang lebih sempurna, penggunaan pestisida dan yang terpenting adalah bahwa dari segi sosial ekonomi, mereka memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan pertaniannya. Bisa jadi mereka ini adalah kaum konglomerat desa, ataupun pemodal yang turun dari kota dan memilih sektor pertanian sebagai lahan usahanya. Namun demikian, persoalan yang justru timbul adalah bagaimanakah nasib petani kita, khususnya petani subsistens yang dari segi sosial ekonomi tergolong masyarakat dengan pendapatan yang relatif rendah?. Apakah kebijakan pemerintah telah berhasil meningkatkan status pertanian kita?. Indonesia harusnya bisa menjadi penyuplai makanan dunia, dengan kelebihan luas areal pertanian dan iklim tropisnya bukan menjadi pengimpor. Menurut Chairul Tanjung dengan bertambahnya popoulasi dunia yang mencapai 8 M di tahun 2050 seharusnya kita bisa membidik peluang bisnis di FEW (Food, Energy & Water) tapi sayang kita menjadi pengimpor nomor wahid bidang pertanian dan agrobisnis.
Sektor Pertanian dan Arah Kebijakan Pembangunan
Dewasa ini, konsentrasi pembangunan kita berada di perkotaan yakni
dengan mengutamakan sektor industri ataupun jasa layanan publik.
Berbagai pembenahan dilakukan diperkotaan sehinga menarik laju
urbanisasi yang meningkat dan menghasilkan masalah yang cukup kompleks
mulai dari perburuhan, perumahan dan ruaknya lingkungan hidup. Disamping
itu, membudayanya anggapan bahwa kota adalah cermin peradapan, telah
pula menjadi daya tarik sendiri bagi daerah perkotaan. Akibatnya
orang-orang dari desa berlomba-lomba datang kekota mengadu nasib
mereka. Ironisnya adalah bahwa kerap kali mereka itu tanpa dibekali
oleh sejumlah pengetahuan yang cukup sehingga, sumber daya yang mereka
miliki tidak banyak bermanfaat dikota. Akibatnya adalah bahwa mereka
itu terpaksa memasuki sektor informal di perkotaan yang relatif lebih
mudah untuk dimasuki.
Fenomena seperti ini telah serta merta menjadikan desa menjadi miskin
sumber daya manusia karena mereka yang melakukan migrasi (kekota) pada
umumnya adalah kalangan muda. Akibatnya, desa menjadi relatif
terlupakan dan sektor yang penting di desa yakni sektor pertanian
dikelola oleh generasi yang relatif tua, yang memiliki kemampuan rendah
baik secara teknis dan non teknis dalam mengelola pertaniannya. Keadaan
ini, telah pula menjadikan desa sebagai kawasan yang kurang maju
dibanding dengan kota.Disamping itu, minimnya campur tangan pemerintah dalam mengelola pertanian masyarakat desa telah membuat desa relatif tertinggalkan. Geliat masyarakat untuk menggerakkan pertaniannya menjadi kendur akibat pola kebijakan pemerintah yang dinilai bukan mendukung usaha mereka, tetapi justru mengelabui mereka.Lihat saja irigasi yang dulu dibangun di era orde baru dibiarkan rusak dan merana, sehingga petani harus mengeluarkan ongkos lebih untuk membeli diesel untuk menyedot air sebagai pangairan. Kemudian disisi peternakan pemerintah bukanya mendorong budidaya lokal tetapi justru mengimpor dari luar. Katakanlah tentang upaya pemerintah baru-baru ini untuk melakukan import beras. Disatu sisi keputusan ini adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap sebagaian kecil masyarakat Indonesia yang tinggal diperkotaan yang konon masuk dalam garis kemiskinan.
Disamping itu, persoalan lain yang belum terpecahkan hingga saat ini adalah menyoal tentang harga-harga pupuk ataupun pestisida yang relatif tidak terjangkau oleh para petani kita, maupun tidak adanya kepastian harga-harga hasil pertanian. Ambil saja contoh seperti padi. Dengan cara yang sederhana, padi baru menghasilkan setelah empat bulan dan harga jual gabah berada di bawah rata-rata. Sehingga berdasarkan kalkulasi yang tidak begitu rumit, hasil pertanian padi selama empat bulan tersebut adalah merugi. Sementara, bagi sebagian petani padi tersebut sepertinya tidak punya pilihan untuk beralih ke sektor tanaman lain, ataupun sama sekali dengan alasan tertentu tidak memiliki alternatif untuk pindah pekerjaan. Namun, bagi sebahagaian orang lain, dengan kondisi petanian yang terus merugi mau tidak mau dirinya harus keluar dari sektor itu dan beralih kesektor lain kendati ia belum memiliki kemampuan yang sesuai dengan pekerjaan barunya. Kondisi seperti ini telah berakibat langsung pada sektor pertanian kita, dimana kita akan selamanya menjadi konsumen beras. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kebijakan pemerintah yang dapat menyentuh masyarakat petani desa, yakni dengan mengupayakan pembangunan desa dan sektor pertaniaanya. Dengan begitu, masyarakat desa tidak lagi berbondong-bondong ke kota untuk mencari alternatif pekerjaan.
Belum lagi kesulitan para petani dan peternak mengakses KUR untuk membiayai lahan dan peternakan mereka, BRI yang dulu disetup sebagai bank rakyat menjadi bank yang menyalurkan kredit konsumtif seperti Mobil, Motor dan kepemilikan rumah serta korporasi-korporasi. Sehingga petani, peternak dan nelayan kita jatuh kedalam jeratan rentenir yang kadang juga merangkap sebagai tengkulak, sehingga saat panen posisi tawar mereka lemah karena terjerat hutang. Belum lagi tidak updatenya teknologi pertanian dan kekurang mampuan mengakses teknologi khususnya internet menjadi sumber keterbelakangan petani, peternak dan nelayan Indonesia dibandingkan negara lain di Asia tenggara salah satu contohnya adalah dengan Thailand. Juga akses pemasaran global, dengan internet dan social media atau toko online semacam Ali baba dan E-bay, saya pernah cek produk pertanian beras hitam semua berasal dari china dengan harga yang selangit tak satupun berasal dari Indonesia padahal kita punya sentra beras hitam dan berbagai varietas beras hitam yang lebih unggul.
Saatnya pemuda di Indonesia melirik dan beralih untuk turut membangun
pertanian di Indonesia. Jangan sampai lulusan-lulusan
Universitas-Universitas pertanian kerjanya jadi teller bank atau sales
mobil, harusnya mereka pemuda bisa menjadi motor penggerak kebangkitan
pertanian Indonesia. Jika pemuda memualinya dari sekarang, jangan heran
lima atau sepuluh tahun mendatang dunia akan gempar melihat kemajuan
bidang pertanian dan kedigdayaan Indonesia makin dikagumi oleh negara
lain. Seperti nenek moyang kita sejak zaman Tarumanegara, Sriwijaya dan
Majapahit yang mengekspor hasil hutan dan pertanian terutama
rempah-rempah sehingga membuat bangsa Eropa menyebrangi lautan menjajah
negeri kita tercinta, saatnya kita menjajah mereka.
Pemuda yang turut andil membangun pertanian juga akan membantu
kemandirian pangan yang hingga saat ini lebih banyak gembar-gembornya
dibanding pelaksanaanya. Bayangkan jika satu orang pemuda beserta
semangatnya yang meletup-letup disalurkan kepada kemajuan pertanian,
hingga tidak ada sejengkalpun lahan nganggur. Lapangan pekerjaan sudah
tidak perlu terlalu dipikirkan, pangan yang menjadi permasalahan hidup
mati lebih mudah disiapkan. Maka bangsa secara sendirinya akan
terbangun.
Mari pemuda diseluruh Indonesia bersatu padu dan mulai melakukan sesuatu
yang bermanfaat. Jangan biarkan Indonesia dijajah pangan impor, jangan
biarkan lahan tak tergarap, jangan biarkan ibu pertiwi merana. Mari
berkomitmen membangun pertanian Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar