Menjadi manusia yang menyandang usia 25 tahun memang bukan perkara
mudah. Beberapa orang menganggap 25 tahun sebagai usia dewasa yang
membuat seseorang sudah harus mampu bertanggung jawab pada hidupnya.
Namun bagi yang sudah menjalani usia ini, tak jarang merasa biasa saja.
Kadang terasa berat, malah.
Di luar sana, usia 25 dianggap sakral. Dipandang sebgai usia tepat bagi perkembangan kedewasaan. Padahal tak sesederhana itu. Ada hal-hal tentang menjadi dan menjalani 25 tahun yang tak semua orang mau beritahukan padamu
Saat sudah menjalani usia 25, sebuah kesadaran akan menghampirimu. Hidup ternyata tidak semulus bayangan masa mudamu. Kamu masih harus berjuang di tempat kerja, terseok-seok menyelesaikan studi, berusaha jadi anak yang bisa membahagiakan kedua orang tua. Usia yang sudah seperempat abad tidak berarti apa-apa. Kamu masih tetap harus berupaya sekuat tenaga demi menjadi versi baik dari seorang manusia.
Nyatanya, banyak yang sempat terkena krisis hidup di usia ini. Pongah mendaftar hanya di pekerjaan yang disuka, tapi ternyata tidak diterima. Kemudian sibuk melamar di mana saja, kemudian terjebak dalam pekerjaan yang bertentangan dengan gambaran masa depan. Galau, bingung, sampai merasa takut tidak punya masa depan amat sering datang melanda. Ternyata menjadi 25 tidak sesederhana yang kamu kira ‘kan?
Gelar pendidikan tinggi yang kamu dapatkan dengan susah payah memang bisa mengantarkanmu ke pintu gerbang kesuksesan. Tapi pencapaian selanjutnya bergantung pada seberapa tinggi kamu mau menyingsingkan lengan demi bekerja keras. Di usia ini kamu akan sadar bahwa kepintaran dan nilai bagus bukanlah segalanya. Kegigihan dan kemauan untuk terus berjuang adalah kunci utama yang bisa menentukan kesuksesanmu nantinya.
Tidak banyak orang mau bercerita bagaimana mereka dikejutkan oleh kenyataan hidup yang tidak disangka. Di umur 25-an, kenyataan-kenyataan hidup yang disodorkan di depan matamu mau tak mau membuatmu harus percaya. Bahwa pada hakikatnya semua manusia punya kesempatan untuk berhasil, selama mereka mau berusaha.
Bully, olokan, dan ejekan memang bukan hal yang penting dilakukan. Yang ada kamu justru bisa malu sendiri saat nanti teman yang kamu bully itu lebih berhasil dalam kehidupan.
Tapi, benarkah kamu tidak akan merasa bekerja jika menggeluti hal yang kamu cinta?
Kenyataannya (ternyata) tidak sesederhana itu. Pekerjaan tetap akan terasa sebagai sebuah pekerjaan. Kamu yang hobi musik dan memutuskan jadi seorang pemain band tetap merasa bosan saat harus tur keliling Indonesia berbulan-bulan. Kamu yang passion dan pekerjaannya berada di dunia fotografi juga tetap ingin cuti pun merasa jenuh.
Passion membuatmu bangun pagi dengan bahagia. Passion memang membuatmu punya alasan pergi bekerja dengan ikhlas. Namun selamanya sebuah pekerjaan tetaplah terasa seperti pekerjaan.
Seiring usiamu yang makin dewasa, kamu akan menyadari bahwa idealisme seharusnya membuatmu jadi manusia yang punya pegangan. Bukan menjadikanmu kehilangan kendali atas pemasukan, yang krusial bagi kelangsungan hidupmu di masa depan. Kamu akan dan harus mulai belajar untuk menyelaraskan antara idealisme dan fakta di lapangan.
Kamu yang merasa sosialis bisa saja tetap masuk ke korporasi liberal, just for the sake of money. Tidak ada yang salah dengan itu. Tak ada orang yang berhak menyalahkanmu. Kamu pun tak perlu repot menjelaskan, toh hanya kamu yang tahu bahwa idealisme akan tetap tertinggal di hatimu. Kini, kamu hanya sedang berjuang demi bertahan hidup.
Tapi walaupun uang bukan segalanya, di beberapa kesempatan uang bisa jadi sumber masalah. Hubunganmu dengan teman-teman bisa merenggang karena salah satu dari kalian merasa tak sesukses kawan-kawan lain sampai memilih menyingkir. Ikatanmu yang selama ini terus baik-baik saja dengan orang tua juga bisa meruncing saat mereka menganggap pekerjaanmu kurang memberikan jaminan finansial.
Ketika kamu mulai berkutat dengan gaji yang terbatas dan kebutuhan hidup yang makin meroket harganya, barulah kamu menyadari bahwa mau tak mau uang tetap penting dimiliki. Memang benar, uang bukanlah segalanya. Tapi hidup tanpa memiliki penghasilan yang pasti juga tak bisa membuat kebahagiaanmu pasti.
Tidak banyak orang mau berbagi bahwa kehilangan pertemanan adalah sebuah hal yang wajar dalam perjalanan hidup. Tidak semua ikatan pertemanan bisa bertahan selamanya. Hidupmu bukan sebuah lapangan bola yang bisa menampung ratusan orang di saat bersamaan. Terkadang, beberapa orang memang harus pergi agar kawan-kawan sejati bisa masuk ke dalam hidupmu yang makin sempit ini.
Jika sudah menemukan seseorang yang dirasa tepat mendampingi — dia yang bisa selalu ada dan diandalkan dalam naik dan turunnya hidup ini — kamu sudah enggan mencari lagi. Lebih baik berhenti sekarang, dibandingkan dia yang baik ini lepas dari genggaman.
Patah hati di usia ini bukan lagi perkara tidak punya teman nonton atau tidak punya teman SMS-an mesra. Kehilangan pasangan rasanya tidak jauh beda dari kehilangan sahabat seperjuangan, membuat limbung dan kehilangan pegangan. Butuh waktu sampai kamu bisa memulai lagi. Hatimu perlu jeda cukup lama sampai ia siap diisi kembali.
Umur ini tidaklah sesakral bayanganmu beberapa tahun lalu jika dihubungkan dengan urusan cinta pun komitmen. Tidak ada yang perlu digadang-gadang secara berlebihan. Jalani saja sebaik yang kamu bisa, maka kamu akan tahu hasil akhir yang memang sudah tertakdirkan untukmu.
Walau sudah lebih mandiri, bukan berarti kamu bebas dari tekanan orang-orang di sekeliling. Pertanyaan macam ini akan tetap menghampirimu,
Namun pada sisi lain mata uang kamu kerap berseberangan dengan mereka. Kedua orang tua memintamu jadi PNS, sementara kamu sedang asyik menggeluti pekerjaanmu di advertising agency. Ayah dan ibumu menginginkanmu segera menikah, padahal kamu merasa baik-baik saja sendiri. Perbedaan yang kontras ini membuatmu sadar bahwa kamu dan orang tua memang dua entitas yang punya impian berbeda.
Kuncinya adalah bagaimana kamu bisa menyelaraskan pengejaran mimpimu dengan restu dari kedua orang tua. Demi mendapatkan keselarasan ini diperlukan kesabaran, kerja keras, dan kemauan mendengar yang tidak remeh.
Kebiasaan macam ini tidak bertahan lama. Seiring waktu, kamu sadar bahwa kamu berubah. Semua masalah kini lebih baik kamu simpan sendiri. Bercerita pada mereka yang paling dekat pun hanya 1-2 orang saja. Tidak semua sisi dari dirimu bisa dibagi pada dunia. Di usia ini, kamu belajar menyembunyikan luka. Belajar terlihat kuat dan baik-baik saja, padahal di dalam hati ada lubang menganga.
Proses berubah ternyata tidak sesulit menerima kesalahanmu yang telah lalu. Dalam usia ini, perjuangan terberat ternyata datang dari usaha memaafkan diri sendiri. Akan ada titik di mana kamu merasa benci pada diri sendiri, mengutuk kebodohan yang sudah kamu lakukan selama ini, terus-terusan menyalahkan diri sendiri.
Butuh proses panjang hingga titik iklas dan menerima bisa teraih dalam genggaman. Butuh keberanian dan kebesaran hati demi memaafkan kebrengsekanmu yang sudah lewat. Namun ketika ini berhasil dilakukan, penghargaan dan rasa cinta pada diri sendiri akan makin kamu rasakan.
Ternyata 25 bukanlah umur ajaib yang jadi penanda tercapainya segala keinginan. Kamu masih tetap harus berjuang. Kamu masih tetap perlu berdoa kuat-kuat supaya impian terasa makin dekat. Menjadi 25 adalah proses tumbuh sebagai manusia dewasa. Seseorang yang dengan besar hati bisa terus melanjutkan perjuangan — walau tidak semua hal yang diinginkan bisa didapatkan dengan mudah.
Sebab kadang, terus berjalan jauh lebih baik daripada menyerah pada keadaaan.
Selamat berproses menjadi 25 bagimu yang sedang menuju ke sana. Selamat menjalani 25 tahun sebaik mungkin untukmu yang sedang berada di usia ini. Menjadi 25 ternyata tidak sesederhana yang kamu kira ‘kan?
Sumber
Di luar sana, usia 25 dianggap sakral. Dipandang sebgai usia tepat bagi perkembangan kedewasaan. Padahal tak sesederhana itu. Ada hal-hal tentang menjadi dan menjalani 25 tahun yang tak semua orang mau beritahukan padamu
1. Kamu Sempat Membayangkan Di Usia 25 Sudah Bisa Punya Rumah, Mobil, dan Merdeka Secara Finansial. Kenyataannya Kamu Justru Merasa Belum Jadi Apa-Apa Sebagai Manusia
Di usia belasan kita kerap berandai-andai:“Nanti umur 25 aku pasti udah nikah.”Tapi cobalah kamu tanya pada orang yang sudah menjalani usia yang sering dibilang orang “sakral” ini. Sudahkah mereka merasa cukup dengan hidupnya? Sudahkah segala pencapaian yang diidamkan itu tergenggam tangan? Bukannya membusungkan dada, kebanyakan orang justru merasa usia 25 belum menjadikan mereka sebagai sosok yang pantas berbangga.
“Umur 25 aku udah kerja, punya pasangan pasti, mapan, bisa membangun kehidupan sesuai gambaran. “
Saat sudah menjalani usia 25, sebuah kesadaran akan menghampirimu. Hidup ternyata tidak semulus bayangan masa mudamu. Kamu masih harus berjuang di tempat kerja, terseok-seok menyelesaikan studi, berusaha jadi anak yang bisa membahagiakan kedua orang tua. Usia yang sudah seperempat abad tidak berarti apa-apa. Kamu masih tetap harus berupaya sekuat tenaga demi menjadi versi baik dari seorang manusia.
2. Tidak Banyak Orang Bicara Tentang Kegamangan Hidup Mereka: Sulitnya Cari Kerja, Bingung Mau Membawa Hidup Ke Arah Mana
Ibarat sebuah persimpangan besar, usia 25 adalah tikungan yang paling krusial. Bagaimana tidak, di usia ini keputusan-keputusan penting harus diambil. Mau kerja di bidang apa, mau berkarir dalam dunia seperti apa, sampai kapan harus memikirkan untuk berkeluarga. Kamu pikir semua ini bisa dilalui dengan mulus tanpa galau? Berdoalah banyak-banyak jika ingin transisimu mulus.Nyatanya, banyak yang sempat terkena krisis hidup di usia ini. Pongah mendaftar hanya di pekerjaan yang disuka, tapi ternyata tidak diterima. Kemudian sibuk melamar di mana saja, kemudian terjebak dalam pekerjaan yang bertentangan dengan gambaran masa depan. Galau, bingung, sampai merasa takut tidak punya masa depan amat sering datang melanda. Ternyata menjadi 25 tidak sesederhana yang kamu kira ‘kan?
3. Kamu Pikir Pendidikan Tinggi Menyelamatkan Karirmu? Tidak. Semua Pencapaian Kembali Pada Usahamu
Saat kuliah kamu bisa jadi pribadi yang sangat jumawa. Merasa paling pintar sedunia, merasa bisa berkompetisi dengan pesaing lain yang kelak kamu temui di dunia kerja. Rasanya ilmu yang kamu dapatkan di bangku kuliah bisa jadi jaminan bagi kesuksesan masa depanmu nantinya. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu, Bung dan Nona.Gelar pendidikan tinggi yang kamu dapatkan dengan susah payah memang bisa mengantarkanmu ke pintu gerbang kesuksesan. Tapi pencapaian selanjutnya bergantung pada seberapa tinggi kamu mau menyingsingkan lengan demi bekerja keras. Di usia ini kamu akan sadar bahwa kepintaran dan nilai bagus bukanlah segalanya. Kegigihan dan kemauan untuk terus berjuang adalah kunci utama yang bisa menentukan kesuksesanmu nantinya.
4. Bersiaplah Ternganga Melihat Temanmu yang Dulu Biasa Saja Justru Melesat Lebih Sukses Darimu
Hidup memang selalu punya kejutan. Salah satu surprise yang sering diberikan hidup di umur seperempat abad adalah kenyataan bahwa kawan yang dulu kamu anggap sebelah mata justru bisa meraih kesuksesan yang lebih tinggi dari pencapaianmu. Dia yang dulu cupu, sekarang bekerja di sebuah digital agency ternama — dengan posisi yang lumayan pula. Sementara kawanmu yang dulu sangat populer di sekolah malah jadi karyawan biasa.Tidak banyak orang mau bercerita bagaimana mereka dikejutkan oleh kenyataan hidup yang tidak disangka. Di umur 25-an, kenyataan-kenyataan hidup yang disodorkan di depan matamu mau tak mau membuatmu harus percaya. Bahwa pada hakikatnya semua manusia punya kesempatan untuk berhasil, selama mereka mau berusaha.
Bully, olokan, dan ejekan memang bukan hal yang penting dilakukan. Yang ada kamu justru bisa malu sendiri saat nanti teman yang kamu bully itu lebih berhasil dalam kehidupan.
5. Dulu Mereka Bilang, “Kejar passion-mu. Maka kamu tidak akan merasa bekerja seumur hidup.” Kenyataannya, Tidak Semudah Itu…..
Di usia 20-an, passion adalah hal yang kamu yakini amat perlu ditemukan. Mati-matian, kamu berusaha mendapatkannya. Demi mengetahui the so called passion itu kamu rela menggali hobi, ikut beragam UKM, sampai bergaul dengan teman dari berbagai komunitas. Passion juga masih kamu pegang teguh sampai tiba waktunya mencari kerja. Gak mau deh kerja kalau tidak sesuai hati nurani.Tapi, benarkah kamu tidak akan merasa bekerja jika menggeluti hal yang kamu cinta?
Kenyataannya (ternyata) tidak sesederhana itu. Pekerjaan tetap akan terasa sebagai sebuah pekerjaan. Kamu yang hobi musik dan memutuskan jadi seorang pemain band tetap merasa bosan saat harus tur keliling Indonesia berbulan-bulan. Kamu yang passion dan pekerjaannya berada di dunia fotografi juga tetap ingin cuti pun merasa jenuh.
Passion membuatmu bangun pagi dengan bahagia. Passion memang membuatmu punya alasan pergi bekerja dengan ikhlas. Namun selamanya sebuah pekerjaan tetaplah terasa seperti pekerjaan.
6. Tak Perlu Merasa Mengkhianati Diri Karena Merelakan Idealisme Demi Uang. Kamu Hanya Sedang Berjuang Demi Tetap Hidup
Idealisme memang sebuah kemewahan yang seharusnya dimiliki oleh generasi muda. Semasa kuliah dulu, bisa jadi kamu adalah seorang penganut paham sosialisme sejati. Kamu lantang mengutuk korporasi, menyalahkan mereka atas ketimpangan pendapatan masyarakat dan kerusakan lingkungan. Kamu ogah bergabung dengan korporasi pasca lulus. Idealismu pokoknya tidak bisa diganggu gugat!Seiring usiamu yang makin dewasa, kamu akan menyadari bahwa idealisme seharusnya membuatmu jadi manusia yang punya pegangan. Bukan menjadikanmu kehilangan kendali atas pemasukan, yang krusial bagi kelangsungan hidupmu di masa depan. Kamu akan dan harus mulai belajar untuk menyelaraskan antara idealisme dan fakta di lapangan.
Kamu yang merasa sosialis bisa saja tetap masuk ke korporasi liberal, just for the sake of money. Tidak ada yang salah dengan itu. Tak ada orang yang berhak menyalahkanmu. Kamu pun tak perlu repot menjelaskan, toh hanya kamu yang tahu bahwa idealisme akan tetap tertinggal di hatimu. Kini, kamu hanya sedang berjuang demi bertahan hidup.
7. Uang Memang Bukan Segalanya — Tapi Di Beberapa Kesempatan, Uang Bisa Jadi Sumber Masalah.
Akhirnya kamu sepakat bahwa ada hal-hal lain di luar materi yang tak kalah penting. Pertemanan, ikatan keluarga, sampai hubungan hangat dengan pasangan yang dicinta. Ternyata hidup lebih dari sekadar berapa besar gajimu, seberapa mampu kamu memenuhi segala kebutuhan materi yang bisa membuatmu dianggap berhasil dan sukses.Tapi walaupun uang bukan segalanya, di beberapa kesempatan uang bisa jadi sumber masalah. Hubunganmu dengan teman-teman bisa merenggang karena salah satu dari kalian merasa tak sesukses kawan-kawan lain sampai memilih menyingkir. Ikatanmu yang selama ini terus baik-baik saja dengan orang tua juga bisa meruncing saat mereka menganggap pekerjaanmu kurang memberikan jaminan finansial.
Ketika kamu mulai berkutat dengan gaji yang terbatas dan kebutuhan hidup yang makin meroket harganya, barulah kamu menyadari bahwa mau tak mau uang tetap penting dimiliki. Memang benar, uang bukanlah segalanya. Tapi hidup tanpa memiliki penghasilan yang pasti juga tak bisa membuat kebahagiaanmu pasti.
8. Kamu Akan Kehilangan Teman. Tapi Toh Hidup Terus Berjalan
Terkadang kamu kaget saat menyadari betapa lingkaran pertemananmu makin menyempit dari hari ke hari. Dulu, kamu adalah orang yang tidak pernah kesepian. Kemanapun pergi, selalu ada kawan yang bisa diajak mendampingi. Namun kini, hanya beberapa gelintir teman yang tetap bertahan dalam hidupmu. Mereka adalah orang-orang yang tetap terhubung walau dipisahkan kesibukan sehari-hari.Tidak banyak orang mau berbagi bahwa kehilangan pertemanan adalah sebuah hal yang wajar dalam perjalanan hidup. Tidak semua ikatan pertemanan bisa bertahan selamanya. Hidupmu bukan sebuah lapangan bola yang bisa menampung ratusan orang di saat bersamaan. Terkadang, beberapa orang memang harus pergi agar kawan-kawan sejati bisa masuk ke dalam hidupmu yang makin sempit ini.
9. Jarang yang Mau Mengaku Bahwa Mereka Menikah Karena Sudah Malas Mencari. Bukan Karena Merasa Sudah Saatnya Berhenti
Di usia 25 hidupmu mulai kelihatan arahnya. Akan berkecimpung di bidang pekerjaan apa, bergiat dalam kegiatan macam apa, hingga mengerucut ke tipe pasangan yang cocok mendampingi dalam hari-hari. Pada usia ini, kamu sejujurnya sudah enggan mencari. Lebih baik menjalani dan mempertahankan sesuatu yang sudah pasti.Jika sudah menemukan seseorang yang dirasa tepat mendampingi — dia yang bisa selalu ada dan diandalkan dalam naik dan turunnya hidup ini — kamu sudah enggan mencari lagi. Lebih baik berhenti sekarang, dibandingkan dia yang baik ini lepas dari genggaman.
10. Bagimu yang Baru Menyelesaikan Satu Episode Sakit Hati, Butuh Waktu Lama Untuk Memulai Lagi
Semasa remaja kamu bisa move on dalam sekejap mata. Putus hari ini, bulan depan sudah siap punya pacar baru lagi. Tapi semakin dewasa, membuka hati sudah tidak lagi terasa sama mudahnya. Di umurmu yang seperempat abad nanti, hatimu seakan dilapisi oleh beberapa pintu pengaman yang terkunci rapat. Tidak mudah membukanya kembali selepas tersakiti.Patah hati di usia ini bukan lagi perkara tidak punya teman nonton atau tidak punya teman SMS-an mesra. Kehilangan pasangan rasanya tidak jauh beda dari kehilangan sahabat seperjuangan, membuat limbung dan kehilangan pegangan. Butuh waktu sampai kamu bisa memulai lagi. Hatimu perlu jeda cukup lama sampai ia siap diisi kembali.
11. Pertimbanganmu Mencari Pasangan Pun Berganti. Bukan Lagi Soal Cantik Atau Tampan. Tapi Lebih Ke Perhitungan Rasional
Mencari pasangan di usia 25 tidak sesederhana tertarik secara fisik, nyambung diajak ngobrol, oke jadian! Di usia ini kamu bisa jadi manusia ribet yang mempertimbangkan banyak aspek, bahkan sebelum sebuah hubungan dimulai.- Apa pekerjaannya? Bisakah diajak membangun hidup bersama
- Bagaimana keluarganya, mampukah membaur dengan keluargamu?
- Dia bisa mengurus anak kecil atau tidak? Atau malah sangat egois?
- Perlukah kamu menyesuaikan diri terlalu banyak dengan lingkaran perkawanannya?
12. Bagi Beberapa Orang Umur 25 Berarti Siap Menikah. Bagi Sebagian Lainnya Umur Ini Hanya Pondasi Awal Untuk Lebih Siap Melangkah
25 dan pernikahan memang dekat. Di umur ini kamu akan mendapat banyak undangan dari teman-teman sejawat yang bergegas meresmikan hubungan. Kamu pun bisa jadi salah satu di antaranya. Tapi ada juga yang merasa 25 bukanlah umur sakral bagi sebuah komitmen serius. Mereka yang masih mengejar karir, ingin fokus melanjutkan sekolah, sampai mereka yang masih enggan membuka hati bagi cinta yang baru.Umur ini tidaklah sesakral bayanganmu beberapa tahun lalu jika dihubungkan dengan urusan cinta pun komitmen. Tidak ada yang perlu digadang-gadang secara berlebihan. Jalani saja sebaik yang kamu bisa, maka kamu akan tahu hasil akhir yang memang sudah tertakdirkan untukmu.
13. Merdeka Secara Finansial Bukan Berarti Kamu Bebas Menentukan Arah Hidupmu Sendiri
Okay, kamu memang sudah lebih mandiri secara finansial sekarang. Baik karena sudah disokong pasangan, sudah bekerja, atau hidup dari uang beasiswa. Saat remaja, kamu sempat merasa bahwa kebebasan akan kamu dapat saat sudah tidak menggantungkan kehidupan pada orang lain. Apakah sesederhana itu?Walau sudah lebih mandiri, bukan berarti kamu bebas dari tekanan orang-orang di sekeliling. Pertanyaan macam ini akan tetap menghampirimu,
“Kapan nikah?”Kebebasan itu tidak serta merta datang. Tuntutan dan kukungan justru makin sering datang dari orang-orang yang hanya mengetahuimu selewat kenal. Mengesalkan? Jelas. Tapi tak perlu dimasukkan ke hati, cukup hadapi saja dengan anggukan sopan dan sesungging senyuman ramah.
“Kapan punya anak?”
“Gak mau jadi PNS aja? Gak bosan kerja swasta?”
“Kok bajunya gitu? Gak terlalu terbuka tuh?”
14. Orang Tua Bisa Menjelma Jadi Musuh yang Paling Kamu Benci. Tapi Pada Mereka Kamu Tetap Ingin Membalas Budi
Umur ini memang unik. Di satu sisi, kamu sudah merasa jadi manusia dewasa yang punya tanggung jawab pada orang tua. Kamu merasa bertanggung jawab membawakan mereka makan malam yang dibeli dengan uang gajimu. Kamu pun sudah mulai tidak enak hati jika terus merepotkan 2 orang yang sudah membesarkanmu selama ini.Namun pada sisi lain mata uang kamu kerap berseberangan dengan mereka. Kedua orang tua memintamu jadi PNS, sementara kamu sedang asyik menggeluti pekerjaanmu di advertising agency. Ayah dan ibumu menginginkanmu segera menikah, padahal kamu merasa baik-baik saja sendiri. Perbedaan yang kontras ini membuatmu sadar bahwa kamu dan orang tua memang dua entitas yang punya impian berbeda.
Kuncinya adalah bagaimana kamu bisa menyelaraskan pengejaran mimpimu dengan restu dari kedua orang tua. Demi mendapatkan keselarasan ini diperlukan kesabaran, kerja keras, dan kemauan mendengar yang tidak remeh.
15. Sedikit yang Mau Mengaku: Di Usia 25 Tanpa Sadar Kamu Belajar Menyembunyikan Lukamu
Dahulu, kesedihan dan kepahitan hidup selalu bisa dibagi. Bisa cerita ke teman, disuarakan lewat media sosial, sampai dengan ringan disampaikan lewat curahan hati ke orang-orang terdekat. Rasanya dunia perlu tahu semua yang kamu rasakan. Berbagi dengan orang lain, bahkan pada yang tak dikenal, dianggap bisa meringankan beban.Kebiasaan macam ini tidak bertahan lama. Seiring waktu, kamu sadar bahwa kamu berubah. Semua masalah kini lebih baik kamu simpan sendiri. Bercerita pada mereka yang paling dekat pun hanya 1-2 orang saja. Tidak semua sisi dari dirimu bisa dibagi pada dunia. Di usia ini, kamu belajar menyembunyikan luka. Belajar terlihat kuat dan baik-baik saja, padahal di dalam hati ada lubang menganga.
16. Belajar Menerima Kesalahan dan Memaafkan Diri Sendiri Jadi Perjuangan Terberat Di Usia Ini
Kamu pernah memilih menitipkan hati pada orang yang salah. Kamu pernah mengambil keputusan yang meninggalkan luka menganga di hati orang-orang terdekatmu. Sadar pernah keliru, kamu pun menyadari harus segera berubah jadi orang baru yang jauh lebih baik dari versi sebelummu.Proses berubah ternyata tidak sesulit menerima kesalahanmu yang telah lalu. Dalam usia ini, perjuangan terberat ternyata datang dari usaha memaafkan diri sendiri. Akan ada titik di mana kamu merasa benci pada diri sendiri, mengutuk kebodohan yang sudah kamu lakukan selama ini, terus-terusan menyalahkan diri sendiri.
Butuh proses panjang hingga titik iklas dan menerima bisa teraih dalam genggaman. Butuh keberanian dan kebesaran hati demi memaafkan kebrengsekanmu yang sudah lewat. Namun ketika ini berhasil dilakukan, penghargaan dan rasa cinta pada diri sendiri akan makin kamu rasakan.
17. Saat Tidak Semua Rencana Bisa Berjalan dan Tak Semua Pencapaian Bisa Teraih Tangan — Menjalani Apa yang Ada Jadi Satu-Satunya Pilihan
Rencana dan peta hidup yang sudah kamu buat dengan rapi di masa remaja belum tentu sepenuhnya bisa diwujudkan. Impian yang digadang-gadang mampu teraih pun belum tentu bisa tergenggam tangan. Kamu bisa jadi manusia keras kepala yang terus berkutat di kegagalan sembari menyalahkan keadaan, atau dengan tegas memilih tak hirau pada masa lalu untuk kemudian melanjutkan perjalanan.Ternyata 25 bukanlah umur ajaib yang jadi penanda tercapainya segala keinginan. Kamu masih tetap harus berjuang. Kamu masih tetap perlu berdoa kuat-kuat supaya impian terasa makin dekat. Menjadi 25 adalah proses tumbuh sebagai manusia dewasa. Seseorang yang dengan besar hati bisa terus melanjutkan perjuangan — walau tidak semua hal yang diinginkan bisa didapatkan dengan mudah.
Sebab kadang, terus berjalan jauh lebih baik daripada menyerah pada keadaaan.
Selamat berproses menjadi 25 bagimu yang sedang menuju ke sana. Selamat menjalani 25 tahun sebaik mungkin untukmu yang sedang berada di usia ini. Menjadi 25 ternyata tidak sesederhana yang kamu kira ‘kan?
Sumber